Selasa, 06 November 2012

Siapa Namamu?

Refleksi ke-3 mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika
Oleh : Rosalia Hera NS
09301244003
Pendidikan Matematika Bilingual 2009

Siapa namamu? Tentunya dengan yakin dan mantap kita akan menjawab dengan nama yang sesuai dengan identitas kita yakni nama yang telah diberikan oleh orang tua kita. Namun hal yang mengejutkan terjadi ketika kita berada di kelas filsafat. Jawaban kita bukanlah jawaban yang tepat. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan dalam pandangan filsafat kita senantiasa berubah. Kita satu detik yang lalu berbeda dengan kita saat ini. Oleh karena itu, nama yang kita miliki saat ini tidak mampu membedakan kita dari kita yang sebelumnya dengan kita saat ini padahal kita berbeda.
Tentunya hal ini mengusik alam pikiran kita. Bagaimana pemahaman yang kita yakni saat ini menjadi sesuatu yang salah. Tapi begitulah filsafat. Seperti yang telah diungkapakan pada refleksi-refleksi sebelumnya, filsafat membuat kita kembali berfikir. Bahkan tidak jarang ia akan membuat kita bingung. Tidak ada jalan lain untuk keluar dari kebingungan ini kecuali dengan kembali mengingat sang pencipta kita.
Terlepas dari itu semua, ada alasan mengapa fenomena ini dapat terjadi. Fenomena yang membuat kita tadi bingung dapat terjawabkan dengan adanya dua hokum yang mendasar di dunia ini. Kedua hokum ini adalah hokum identitas dan hokum kontradiksi.
Hokum identitas adalah ketika a = a, atau subjek sama dengan predikat. Hal ini dapat dipenuhi ketika kita tidak memperhatikan ruang dan waktu yang mengikat kita. Pemikiran yang berdasarkan pada hokum identitas ini dikenal dengan istilah analisis. Salah satu hal yang mengunakan hokum dasar ini adalah matematika. Objek-objek matematika akan bernilai benar jika ia konsisten. Hal ini tentu bertentangan dengan paradigma tentang segala sesuatu yang senantiasa berubah. Oleh karenanya para filusuf beragapan matematika akan benar selama ia berada dalam pikiran dan jika telah dituliskan maka ia akan menjadi salah. Menurut filsafat, hokum ini hanya dipenuhi oleh Tuhan, dimana subjek sama dengan objeknya.
Hokum yang kedua adalah hokum kontradiksi. Berbeda dengan sebelumnya, hokum kontradiksi ini terpenuhi ketika subjek tidak sama dengan objeknya. Pemikiran ini muncul akibat adanya kesadaran keterikatan terhadap ruang dan waktu. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwasanya segala sesuatu senantiasa berubah sehingga subjek akan berbeda dengan objeknya.
Meskipun hokum kontradiksi ini dapat kita terima akal pikiran kita akan tetapi jangan sampai hati kita ikut berkontradiksi. Jika hati kita berkontradiksi maka itulah setan. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwasanya hati tetaplah menjadi pengendali dalam kita berfilsafat. Jangan sampai hati kita ikut terjerumus sehingga kita dapat tersesat. Untuk mengantisipasi hal ini maka dalam filsafat kita kenal istilah epoche. Nah, pada saat kita akan membersihkan hati kita(mencegahnya berkontradiksi) hendaknya kita meletakkan segala kontradiksi-kontradiksi yang kita pikirkan serta seluruh pikiran yang tidak terkait dengan doa kedalam rumah epoche ini.
Biarkan pikiran kita senantiasa menerjemahkan dan diterjemahkan serta menemukan kontradiksi-kontradiksi. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan hati kita berkontradiksi. Dan biarkan pertanyaan “Siapa namamu?” tetap menjadi sebuah pertanyaan yang tak terjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar