Refleksi
ke-3 mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika
Oleh
: Rosalia Hera NS
09301244003
Pendidikan
Matematika Bilingual 2009
Siapa namamu? Tentunya dengan yakin dan mantap kita akan
menjawab dengan nama yang sesuai dengan identitas kita yakni nama yang telah
diberikan oleh orang tua kita. Namun hal yang mengejutkan terjadi ketika kita
berada di kelas filsafat. Jawaban kita bukanlah jawaban yang tepat. Mengapa
demikian? Hal ini disebabkan dalam pandangan filsafat kita senantiasa berubah. Kita
satu detik yang lalu berbeda dengan kita saat ini. Oleh karena itu, nama yang
kita miliki saat ini tidak mampu membedakan kita dari kita yang sebelumnya
dengan kita saat ini padahal kita berbeda.
Tentunya hal ini mengusik alam pikiran kita. Bagaimana pemahaman
yang kita yakni saat ini menjadi sesuatu yang salah. Tapi begitulah filsafat.
Seperti yang telah diungkapakan pada refleksi-refleksi sebelumnya, filsafat
membuat kita kembali berfikir. Bahkan tidak jarang ia akan membuat kita
bingung. Tidak ada jalan lain untuk keluar dari kebingungan ini kecuali dengan
kembali mengingat sang pencipta kita.
Terlepas dari itu semua, ada alasan mengapa fenomena ini
dapat terjadi. Fenomena yang membuat kita tadi bingung dapat terjawabkan dengan
adanya dua hokum yang mendasar di dunia ini. Kedua hokum ini adalah hokum
identitas dan hokum kontradiksi.
Hokum identitas adalah ketika a = a, atau subjek sama dengan
predikat. Hal ini dapat dipenuhi ketika kita tidak memperhatikan ruang dan
waktu yang mengikat kita. Pemikiran yang berdasarkan pada hokum identitas ini
dikenal dengan istilah analisis. Salah satu hal yang mengunakan hokum dasar ini
adalah matematika. Objek-objek matematika akan bernilai benar jika ia
konsisten. Hal ini tentu bertentangan dengan paradigma tentang segala sesuatu
yang senantiasa berubah. Oleh karenanya para filusuf beragapan matematika akan
benar selama ia berada dalam pikiran dan jika telah dituliskan maka ia akan
menjadi salah. Menurut filsafat, hokum ini hanya dipenuhi oleh Tuhan, dimana
subjek sama dengan objeknya.
Hokum yang kedua adalah hokum kontradiksi. Berbeda dengan
sebelumnya, hokum kontradiksi ini terpenuhi ketika subjek tidak sama dengan
objeknya. Pemikiran ini muncul akibat adanya kesadaran keterikatan terhadap
ruang dan waktu. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwasanya segala
sesuatu senantiasa berubah sehingga subjek akan berbeda dengan objeknya.
Meskipun hokum kontradiksi ini dapat kita terima akal pikiran
kita akan tetapi jangan sampai hati kita ikut berkontradiksi. Jika hati kita
berkontradiksi maka itulah setan. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwasanya
hati tetaplah menjadi pengendali dalam kita berfilsafat. Jangan sampai hati
kita ikut terjerumus sehingga kita dapat tersesat. Untuk mengantisipasi hal ini
maka dalam filsafat kita kenal istilah epoche. Nah, pada saat kita akan
membersihkan hati kita(mencegahnya berkontradiksi) hendaknya kita meletakkan
segala kontradiksi-kontradiksi yang kita pikirkan serta seluruh pikiran yang
tidak terkait dengan doa kedalam rumah epoche ini.
Biarkan pikiran kita senantiasa menerjemahkan dan
diterjemahkan serta menemukan kontradiksi-kontradiksi. Akan tetapi jangan
sekali-kali membiarkan hati kita berkontradiksi. Dan biarkan pertanyaan “Siapa
namamu?” tetap menjadi sebuah pertanyaan yang tak terjawabkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar